TEMPO Interaktif, Yerusalem - Pasukan komando Israel sudah lama dikenal sebagai pembunuh andal. Mereka mampu bergerak cepat dan mematikan. Tapi, dalam operasi di geladak kapal misi kemanusiaan Mavi Marmara, Minggu subuh lalu, sesungguhnya pasukan ini gagal total.
Keberhasilan mereka membunuh sekurangnya 10 aktivis harus ditebus dengan kemarahan dunia. Mereka juga harus menanggung malu karena dua anggota pasukan khususnya terluka parah akibat perlawanan para aktivis yang tidak bersenjata.
Bagaimana kegagalan ini terjadi? Ynetnews, harian Israel, menyebutkan kegagalan sudah terjadi ketika pasukan diterjunkan dari helikopter. Teori dasar yang diajarkan pada pasukan khusus itu adalah, jangan pernah bergerak sendirian, usahakan selalu bersama anggota pasukan lain.
Teori itu tak berlaku di geladak Marmara. Mengira tak akan mendapat perlawanan sengit, pasukan komando turun satu demi satu dari helikopter, menggunakan tali. Di bawah, tentu saja mereka tidak disambut kalungan bunga. Yang mereka terima adalah serbuan puluhan aktivis yang menggebuk dengan berbagai senjata seadanya, dari kayu, besi, hingga kunci Inggris.
Dengan susah payah semua anggota pasukan komando ini akhirnya berhasil mendarat. Tapi kondisi mereka sudah babak-belur. Dua di antaranya bahkan pingsan, dan senjatanya dirampas.
Merasa terdesak, komandan pasukan memerintahkan menembak dengan peluru karet dan melemparkan granat pengejut. Ini pun tak membuat ratusan aktivis di geladak gentar. Mereka makin bersemangat melawan. Saat pasukan makin terpojok inilah, perintah maut itu dikeluarkan: gunakan peluru tajam. Rentetan tembakan segera melumpuhkan belasan aktivis dan menewaskan sekurangnya 10 orang.
Lembaga analisis intelijen Debka, yang berbasis di Yerusalem, menyebutkan bahwa pasukan komando itu memang kagok. Mereka bukan pasukan antihuru-hara. Mereka adalah pasukan pembunuh. Ketika menghadapi perlawanan para aktivis, mereka bingung karena diminta tidak mengambil alih kapal dengan menimbulkan korban jiwa. “Bahkan polisi perbatasan Israel yang biasa menangani orang-orang Palestina lebih terlatih dari pasukan khusus itu,” demikian Debka menulis.
Pertanyaan yang juga muncul adalah: mengapa pasukan komando itu tidak melakukan operasi diam-diam saja, misalnya menyabotase mesin kapal sehingga bisa diambil alih? Ternyata opsi ini sempat dipikirkan saat operasi dirancang, tapi tak dipakai karena kapal Mavi Marmara terlalu besar. Jika mesin kapal disabot, sulit buat pasukan Israel untuk menyeret kapal besar itu ke wilayah mereka. Maka, jadilah opsi penerjunan yang kemudian membawa bencana itu yang dipilih.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebutkan, pasukan komando dalam posisi membela diri karena diserang. Untuk memperkuat argumen ini, Departemen Pertahanan Israel kemudian merilis rekaman video penyerbuan. Argumen yang aneh, karena video itu jelas-jelas menunjukkan pasukan Israel menyerbu kapal. Mana ada pasukan menyerbu lalu tiba-tiba mengaku membela diri.
0 komentar:
Posting Komentar